JAKARTA--MICOM: Indonesia terancam tenggelam di akhir abad 21. Peristiwa tersebut bukan lagi sekedar isapan jempol.
Itu dikatakan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Jatna Supriatna. Hal tersebut terjadi bila tidak ada upaya mitigasi yang serius terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini tengah melanda seluruh dunia tidak terwujud.
"Hal paling tidak menguntungkan untuk kita yakni Indonesia sebagai negara kepulauan yang tidak menginduk pada suatu daratan besar. Jadi, tidak ada tempat untuk lari bila kenaikan muka laut ternyata melebihi seluruh daratan kepulauan yang ada," ujar Jatna di Jakarta, Senin (5/11).
Perubahan iklim sebagai implikasi pemanasan global yang disebabkan kenaikan gas-gas rumah kaca terutama karbondioksida (CO2) dan metana (CH4).
Kenaikan gas-gas rumah kaca itu mengakibatkan dua hal utama yang terjadi di lapisan atmosfer paling bawah, yakni fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut. Sebagai negara kepulauan, Indonesia paling rentan terhadap efek kedua, yakni kenaikan muka laut.
"Proyeksi kenaikan muka laut untuk wilayah Indonesia, hingga tahun 2100, diperkirakan hingga 1.1 meter. Sepertinya sedikit memang, tapi dampaknya tak main-main yang yakni hilangnya daerah pantai dan pulau-pulau kecil seluas 90.260 km2 atau setara dengan 2.000-an pulau di nusantara," jelas Jatna.
Masalah itu, menurut Jatna, bahkan mendapat perhatian dunia yang amat serius dalam pertemuan dunia yang membahas Sea Level di San Diego September 2012 lalu.
Tenggelamnya gugus kepulauan Nusantara tentu saja merupakan bencana yang tidak terelakkan bila Indonesia tidak turut berperan serta secara aktif dalam penurunan tiga derajat suhu di akhir dekade ini.
Pengamatan temperatur global sejak abad 19, menurut Jatna, menunjukkan adanya perubahan rata-rata temperatur yang menjadi indikator adanya perubahan iklim.
Perubahan temperatur global ditunjukkan dengan naiknya rata-rata temperatur hingga 0,74 derajat Celcius antara tahun 1906 hingga tahun 2005. (*/OL-5)
Itu dikatakan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Jatna Supriatna. Hal tersebut terjadi bila tidak ada upaya mitigasi yang serius terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini tengah melanda seluruh dunia tidak terwujud.
"Hal paling tidak menguntungkan untuk kita yakni Indonesia sebagai negara kepulauan yang tidak menginduk pada suatu daratan besar. Jadi, tidak ada tempat untuk lari bila kenaikan muka laut ternyata melebihi seluruh daratan kepulauan yang ada," ujar Jatna di Jakarta, Senin (5/11).
Perubahan iklim sebagai implikasi pemanasan global yang disebabkan kenaikan gas-gas rumah kaca terutama karbondioksida (CO2) dan metana (CH4).
Kenaikan gas-gas rumah kaca itu mengakibatkan dua hal utama yang terjadi di lapisan atmosfer paling bawah, yakni fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut. Sebagai negara kepulauan, Indonesia paling rentan terhadap efek kedua, yakni kenaikan muka laut.
"Proyeksi kenaikan muka laut untuk wilayah Indonesia, hingga tahun 2100, diperkirakan hingga 1.1 meter. Sepertinya sedikit memang, tapi dampaknya tak main-main yang yakni hilangnya daerah pantai dan pulau-pulau kecil seluas 90.260 km2 atau setara dengan 2.000-an pulau di nusantara," jelas Jatna.
Masalah itu, menurut Jatna, bahkan mendapat perhatian dunia yang amat serius dalam pertemuan dunia yang membahas Sea Level di San Diego September 2012 lalu.
Tenggelamnya gugus kepulauan Nusantara tentu saja merupakan bencana yang tidak terelakkan bila Indonesia tidak turut berperan serta secara aktif dalam penurunan tiga derajat suhu di akhir dekade ini.
Pengamatan temperatur global sejak abad 19, menurut Jatna, menunjukkan adanya perubahan rata-rata temperatur yang menjadi indikator adanya perubahan iklim.
Perubahan temperatur global ditunjukkan dengan naiknya rata-rata temperatur hingga 0,74 derajat Celcius antara tahun 1906 hingga tahun 2005. (*/OL-5)